Put, kita sering menggunakan isitilah manusiawi
untuk menutupi kesalahan yang kita perbuat. Seolah kata itu adalah tameng
berbahan baja yang selalu siap dijadikan aling-aling pertahanan saat sikap atau
perilaku kita sedang menghasilakan efek yang tidak baik.
Kita akan yakin seyakin-yakinnya bahwa orang lain
akan segera memaklumi dan memaafkan kesalahan yang kita perbuat cukup setelah
kita mengucapkan kata manusiawi. Kesalahan jenis apappun dengan kadar dan
kualitas apa saja akan segera selesai dan beres tanpa masalah berikutnya
setelah mulutmu mampu mengucapkan kata manusiawi.
Put, aku khawatir ini akan konsisten terjadi. Kita
akan merasa bahwa kesalahan itu hanya makhluk remeh yang bisa diselesaikan
cukup dengan kata itu. Kita akan dimanjakan oleh kata itu bersama kesalahan
yang kita perbuat. Kita akan sudah tidak menganggap bahwa kesalahan memiliki
komitmen dan sakralitas sendiri yang mesti dijaga kesuburannya.
Kalau aku pernah mengecewakanmu dalam urusan
berbisnis yang sudah sejak lama kita bangun bersama. Sehingga kamu merasa
dirugikan oleh kepentinganku. Tentu jelas tidak cukup aku bilang bahwa
tindakanku itu adalah manusiawi. Dan masalah akan beres dengannya. Aku harus
berani dan tegas mengatakan bahwa salah ya salah. Benar ya benar. Itu mesti
diakui. Jangan main-main.
Aku harus meminta maaf kepadamu dengan segala
kelengkapan dan persyartannya yaitu bersedia berjanji untuk tidak akan mengulanginya
lagi. Aku harus komit khususnya pada diriku sendiri bahwa ada nama baik yang
mesti harus aku jaga terus menerus.
Kalaupun akhirnya kamu rela memaafkanku dan bersedia
untuk bekerja sama lagi itu penghargaan yang mesti aku syukuri berkali-kali.
Segala puji bagi Tuhan yang telah menciptakan manusia sepertimu. Dan itu bukti
bahwa kamu memiliki keluasan hati dan pikiran yang lapang sehingga jalanku
masih tetap dibuka untuk aku teruskan pada kesempatan berikutnya.
Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Rasa
terima kasihku harus aku wujudkan dalam setiap sikap dan perilaku yang aku
ambil. Aku akan berupaya sungguh-sungguh untuk sedikitpun tidak mengulanginya.
Namun jika itu tidak terbukti. Aku malah berlaku yang tidak sesuai dengan
kesepakatan yang kita buat diawal. Aku masih menuruti hawa nafsuku untuk
memenuhi kepentingan dan keuntunganku sendiri dengan cara mengelabuhi, menipu
dan membohongimu. Terus begitu. Lagi dan lagi. Kira-kira bagaimana perasaanmu
put?.
Put, keadaan mana yang kamu pilih. Dinikahi tapi
kemudian disakiti sehingga cerai. Nikah lagi cerai lagi. Terus dan terus
begitu. Atau lebih baik tidak nikah sama sekali? Kira-kira bagaimana perasaanmu
put saat kamu melayani orang yang tiap hari kerjaannya meminta minum ke
rumahmu. Setelah kamu kasih. Tidak ia minum. Terus ia minta lagi. Tidak diminum
lagi. Minta lagi tidak diminum lagi. Terus dan terus begitu sampai maja penuh
dengan gelas? Apakah kamu justru akan merasa lebih tenang saat orang itu lebih
baik tidak usah minta minum sama sekali?
Put, ketahuilah. Kenapa di negeri kita ini masih
sering terjadi bencana. Baik bencana yang dimunculkan melalui alam atau
lingkungan. Maupun bencana yang dikandung dalam sistem dan regulasi birokrasi
struktural sebuah lembaga atau instansi? Karena Kekecewaan dan sakit hati Tuhan
terjadi bukan karena kita berkhianat atau mengikariNya. Tapi karena kita
bepura-pura menyembahNya. berhari-hari dan amat sungguh-sungguh.
Ini masalah ketegasan sikap put. Orang akan merasa
dipermainkan jika sikap kita tidak jelas. Mereka akan merasa diremehkan,
dispelekan, dan bahkan dilecehkan jika sikap yang kita ambil adalah semu atau
pura-pura. Kita harus terus melatih diri untuk berani berkata iya pada sesuatu
yang memang harus iya. Dan lantang bilang tidak pada apa saja yang memang wajib
tidak. Iya jangan diungkapkan pada keadaan yang seharusnya tidak. Dan tidak
dilarang muncul pada kondisi yang wajib iya.
Aku akan lebih memilih mengatakan bahwa aku sering
main judi ketimbang aku bilang tidak main tapi faktanya masih suka main. Aku
lebih aman bilang bahwa aku tidak rajin sholat daripada mengaku sholat tapi
realitanya masih sering bolong-bolong dan malas-malasan. Dan seterusnya. Dan
seterusnya sampai tak terhingga.
Kalau citra baik yang selalu kita utamakan. Mungkin
baik. Tapi itu pencitraan namanya. Pencitaraan itu cara untuk mengkondisikan
diri agar tetap dibilang baik dengan teknik, metode, dan strategi apa saja.
Demi sebaris nama yang ingin dianggap selalu baik dan terjaga kesucian dan kemurniannya
kita berani untuk melakukan pembohongan dan penipuan publik yang tidak
tanggung-tanggung. Topeng-topeng kabaikan akan dimunculkan sederas-derasnya
justru untuk program kejahatan besar-besaran. Itu munafik put. Sayangnya aku
tidak tertarik.
Put, kalau kita menemukan ketidak cocokan dalam
suatu urusan. Maka cukuplah kita tidak meneruskannya lagi. Kalaupun akhirnya
ada kesempatan baru itu hanya akan membuktikan secara tegas bahwa kita itu
memang harus lanjut atau justru sudahi saja. Kita harus tegas. Dan jangan
ditawar-tawar.
Aku dan kamu akhirnya akan mengerti bahwa kita
dipertemukan bukan untuk urusan itu. Kalau aku dan kamu tidak cocok dalam
urusan bisnis dagang. Maka cukup. Jangan pernah kita bekerja sama untuk
berdagang. Kita harus cari dan temukan urusan lain yang lebih berjodoh. Atau
terus membangun dan memelihara susuatu yang sudah terjalin lama.
Kalau kamu kecewa dan marah sama seseorang cukuplah
protes sama sifat dan kelakuannya saja. Pribadi kemanusiaannya mesti terus kamu
temani dan dampingi. Jangan pernah kamu ambil keputusan untuk mengakhiri
hubungan persauadaraan, persahabatan, pertemanan lantaran kamu pernah dirugikan
oleh mereka. Jangan put. Manusia diciptakan oleh Tuhan bukan dengan konsep
seperti itu.
Aku harap kamu sehat dan bahagia ya put.
NPH.
Comments
Post a Comment