Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di
mana saya akan tinggal setelah dilahirkan. Kewarganegaraan saya warisan, nama
saya warisan, dan agama saya juga warisan.
Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang
yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak
bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan
negara.
Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan
agama, ras, suku, dan kebangsaan kita. Setelah itu, kita membela sampai mati
segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.
Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah
satu-satunya agama yang benar. Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab
mereka kafir dan matinya masuk neraka.
Ternyata, Teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang
sama terhadap agamanya. Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus
sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama
mereka berkata.
Maka, Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama
lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti
saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.
Jalaluddin Rumi mengatakan, "Kebenaran adalah selembar
cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut
kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara
utuh."
Salah satu karakteristik umat beragama memang saling
mengklaim kebenaran agamanya. Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja
"iman". Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi
jangan sesekali mencoba jadi Tuhan. Usah melabeli orang masuk surga atau neraka
sebab kita pun masih menghamba.
Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena
masing-masing warisan mengklaim, "Golonganku adalah yang terbaik karena
Tuhan sendiri yang mengatakannya". Lantas, pertanyaan saya adalah kalau
bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha,
Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?
Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia
bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa. Tapi tidak,
kan? Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal
itu akan menjamin kerukunan? Tidak!
Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama
rakyatnya sama. Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs minoritas
masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.
Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar
kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja
kehancuran Indonesia kita.
Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil
kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran,
Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila,
Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas
meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan
sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur
penilaian terhadap pemeluk agama lain.
Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak
mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.
Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa
negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal,
tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan
masing-masing di media sosial.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang
teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir.
Comments
Post a Comment